Seminar masa depan edukasi – 30 Oktober 2015- Balai Sarbini


Adam khoo, salah satu institusi pendidikan yang terkenal sebagai penyelenggara “I am gifted” camp dari Singapore, mengadakan seminar bertema “21 th century education conference”. Saya bersama kedua teman dengan bersemangat menghadiri konferensi yang dimulai sekitar jam setengah 10 ini bersama 1000 peserta lainnya.

Siang ini saya ingin berbagi mengenai beberapa yang hal yang menarik yang saya ingat  dari acara ini, semoga bisa bermanfaat untuk orang tua atau pendidik lainnya.

Prof Barbara Oakley, pengarang buku “Learning how to learn” menceritakan bahwa otak manusia pada satu saat, berada dalam satu dari dua keadaan, “fokus” dan “diffuse” (saya tidak menemukan kata yang pas dalam bahasa indonesia, bisa diartikan seperti idle, melamun, rilex, istirahat). Keduanya adalah saling menggantikan, jadi tidak mungkin kita bisa fokus sekaligus “diffuse”. Yang menarik adalah , ternyata pada saat kita  belajar atau menyelasaikan masalah, kedua jenis keadaan tersebut mempunyai peran masing-masing.

Pada saat otak kita sedang dalam keadaan fokus, otak akan mengaktifkan synapsis yang sudah terbentuk dalam otak untuk menyelesaikan suatu tugas atau permasalahan. Akan tetapi bila masalah atau tugas itu adalah seseuatu yang baru, maka ada kemungkinan pola synapsis yang sudah ada dalam otak kita tidak bisa mengerti atau menyelesaikannya.  Saat ini lah kondisi “diffuse” mengambil peran. Pada saat kita melamun, otak sebenarnya juga bekerja dan mengunjungi synapsis -synapsis lain secara acak. Kadang pada saat tersebut, kita menemukan pola synapsis yang mirip atau sama dengan masalah yang sebelumnya kita coba pecahkan, dan kita tersentak seperti memiliki ide baru.

Oleh sebab itu, kebanyakan ide inovatif biasanya timbul pada saat kita justru tidak sedang fokus memikirkan solusi atau pada saat kita sedang melamun, atau santai. Jadi sangat akurat nasihat yang mengatakan bahwa kita lebih baik mencari udara segar terlebih dahulu bila sedang “stuck” dalam memikirkan sesuatu, atau untuk memikirkannya pada saat tidur.

Berbekal pengetahuan ini, ternyata “analogy” atau “metafora” adalah alat penting dalam pengajaran. Karena cerita dalam analogi dapat merangsang synopsis yang pernah terbentuk di dalam otak kita, sehingga memudahkan kita untuk mengerti. Kini saya mengerti mengapa sering kali saya mendapat insight ketika mendengar cerita atau pengalaman orang lain.

Adam Khoo  menjelaskan telah terjadi ketidak sinkronisasian antara apa yang diajarkan di sekolah dengan yang diperlukan oleh kehidupan bisnis yang nyata. Pertama, didalam kelas kita ditekankan untuk bekerja individual (tidak boleh mencontek, tidak boleh kolaborasi). Sedangkan di dunia nyata hampir tidak mungkin untuk melakukan apapun secara individu, bisnis harus dilakukan dengan cara kolaborasi dengan orang lain. Bahkan mencontek pun merupakan hal yang baik dan dinamakan “francise”.

Kedua, kita diajarkan untuk diam, menyimak dalam kelas, jangan bertanya, jangan berdiskusi bersama teman. Sedangkan di dunia nyata, bila kita tidak bertanya, tidak memiliki network/relasi, tidak melakukanFGD atau survey pelanggan, hampir tidak mungkin bisnis yang dijalankan akan berhasil.

Ketiga, dalam sekolah sangat penting untuk menghapal content (isi dari pelajaran). Sedangkan di dunia nyata, perubahan terus berlangsung, teknologi yang sudah ditemukan 10 tahun yang lalu sudah usang dan  digantikan oleh teknologi baru (disruptive). Kodak, Motorola, Nokia adalah contoh nyata dimana perusahaan yang tadinya penguasa pasar, menjadi bukan siapa-siapa lagi hanya karena menolak mengikuti perubahan teknologi.

Adam Khoo juga mengajarkan bagaimana agar anak bisa berhasil. Pertama, anak tersebut harus memiliki “goal” yang dari dalam dirinya sendiri. Tidak ada cara lain untuk memotivasi anak untuk belajar atau melakuakan apapun, selain dorongan dari dalam hatinya untuk mencapai apa yang dia inginkan.

Kedua, penting untuk anak memiliki mengenal cara belajar yang efektif untuk dirinya sendiri (Apakah itu visual, audio, audio visual, kinestetis) dan mengetahui bagaimana membuat notes untuk repetisi, dan  menyelesaikan masalah dengan tool inovasi (mind map, fish bone,dll)

Ketiga adalah kemampuan baca cepat dan komprehensif. Sedikit sekali saya menemukan orang Indonesia yang mempunyai hobi membaca. Padahal banyak sekali ilmu dan inspirasi yang bisa didapat dari membaca. Yang kemudian saya sadari bahwa bacaan fiksi juga bermanfaat, karena imajinasi adalah kunci dari solusi yang kreatif/inovatif. Dengan kemampuan baca cepat, lebih besar kemungkinan dari kita untuk menghabiskan bacaan dalam satu buku, dan tidak meninggalkannya bergantung seperti yang kadang saya lakukan sendiri 🙂

Rene Suhardono menampilkan sebuah video mengenai bagaimana “generasi muda” menjalani hidupnya. Smart phone telah menjadi penguasa dari waktu anak muda, dan menggantikan bagaimana manusia berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain.  Walau demikian, dunia pendidikan masih tetap sama, yang menyebabkan lulusan S1 dan S2 memiliki tingkat pengangguran lebih besar dari pada lulusan SD. Hal ini bukan dikerenakan rendahnya kebutuhan tenaga kerja (lebihnya jumlah lulusan dibanding pekerjaaan yang ada). Akan tetapi, karakteristik tenaga kerja yang dihasilkan oleh institusi pendidikan tidak cocok dengan demand resource yang diperlukan perusahaan atau bisnis.

Lalu, apa yang harus dilakukan oleh orang tua dan anaknya?

Saya sangat menyukai jawaban dari Rene Suhardono. Beliau mengatakan bahwa setiap manusia memiliki panggilannya masing-masing. Jadi adalah tugas orang tua untuk mendukung anaknnya mencari “misi” hidupnya dan mengejarnya. Menentukan arah dari hidup (bukan hanya tujuan, karena bisa saja tujuan berbeda, tapi arah tetap sama). Karena misinya bisa berbeda-beda, maka setiap manusia memiliki passion (kegiatan yang sangat disukai bukan pekerjaan) masing-masing dan ketrampilan yang mendukungnya.

Semoga bermanfaat..

Leave a comment